Seorang anak perempuan dengan rambut dikuncir dua dan wajahnya berbintik-bintik menyapaku. Aku membalasnya.
“I-iya. Namaku Clare.”
Ia mengajakku kenalan. Namanya Janet, ia anak desa situ. Umurnya 13 tahun. Katanya, tempat ini satu-satunya tempat yang ada komputer dan TV yang bisa digunakan secara gratis di desa ini.
“Tadi kamu datang dengan Rick Muller ya?” tanyanya. Ooh, aku baru tau nama belakangnya ‘Muller’.
“Ya. Dia pemanduku selama di desa ini. Kan, aku anak dari New York yang liburan di desa.” kataku menjelaskan. Janet mengangguk-angguk.
“Oh. Memangnya dia mau jadi pemandu? Kan, dia anaknya cuek, tapi jago banget kalau olahraga. Terus dia pintar. Dan gak banyak omong. Si centil Fifian aja sampai suka.” jelas Janet.
“Fi-Fifian?” tanyaku. Namanya aneh banget sih.
“Iya. Dia anak terkaya di desa ini, tapi mungkin saja dia kalah denganmu. Kamu kan anak kota. Tapi Fifian centil sekali kalau sama Rick. Tadi dia masuk ke kelas yang sama dengan Rick. Yaah, memang sih Rick tidak pernah melirik Fifian sama sekali.”
“L-lalu, siapa yang di lirik oleh Rick?” aku mulai penasaran.
“Eh, untuk kamu, aku kasih tahu deh. Rick itu suka dengan—“ Janet merendahkan suaranya, “—Kelly.”
DEG! Jantungku serasa jatuh kebawah. Ke dasar jurang, jatuh dan terus jatuh. Hatiku panas.
“Ke-Kelly itu siapa?”
Ia memandangku heran. “Loh, kok kita jadi ngomongin Rick sih?” tanyanya, tapi melihat ekspresiku, dia melanjutkan, “Kelly itu anak desa sini. Dia ramah, dan baik. Lalu, mereka pacaran. Baru pacaran dua bulan, lalu Kelly meninggal.”
Aku terkejut. Hatiku dag dig dug mendengarnya. Berarti- statusnya masih pacaran ya?
“Oh, lalu sekarang dia sudah pacaran lagi, sama Sherleen.” lanjut Janet sambil mengedikkan kepala ke seorang anak pendiam di sudut ruangan. Ia sedang asyik membaca buku. Dan aku terkejut melihatnya. Anaknya tidak terlalu cantik, Janet saja lebih cantik. Bajunya kumal. Aku memandang Janet bingung.
“Ya. Nah, hubungan mereka tidak terlalu baik, kau tahu? Dan sepertinya ini pacaran yang dipaksakan.” Janet menghembuskan nafas, “—karena masing-masing tampaknya gak suka dengan yang lain, tapi harus pacaran.”
Sekarang, aku serasa jatuh ke jurang. Jatuh, jatuh, sampai tak pernah menyentuh dasarnya. Jadi inilah Rick, seorang cowok yang pacaran bahkan sebelum putus dengan pacarnya yang dulu, tapi boleh saja, karena ceweknya sudah meninggal. Tapi berarti, bahwa Rick masih mencintai pacarnya yang dulu, Kelly. Jadi, aku selama ini apa? Hanya seorang cewek menyusahkan, yang karena aku ia tak bisa menikmati liburan musim panasnya dengan tenang, malah diminta menghabiskan liburan dengan cewek kota yang kasar sepertiku. Hatiku kembali panas. Tak terasa, air mataku menetes.
“Clare!? Kamu kenapa!?” lalu ia meraba keningku. “Ya Tuhan, Clare, kamu demam tinggi! Tunggu ya, akan kupanggilkan Rick dulu—“
Tapi, sebelum ia beranjak pergi, aku memegang tangannya. “Ja-jangan Janet! A-aku su-sudah cu-cukup merepotkannya. Mu-mungkin.. Ngg.. ka-kau bi-bisa me-menga-mengantarkanku naik ku-kuda? Ku-da ku d-diluar. To-tolong, y-ya J-Jan-Janet!” kataku tergagap. Ya, karena aku bisa merasakan kalau wajahku memucat. Janet mengangguk dan membawaku ke Bronzzie. Ia menaikanku dibelakang, dan mengendarai kuda dengan cepat hingga di rumahku.
Ibuku keluar rumah dengan panik. Ia mengucapkan terimakasih pada Janet, yang segera kembali ke Summer Academy karena ia mengikuti kelas Sastra. Aku di baringkan di kamarku, sementara ibuku mengambil kompres.
Ia mengukur panasku, lalu berteriak. “Ya Tuhan, 39 derajat! Kita harus panggil dokter—tunggu sebentar ya, nak!”
Ibuku menelepon dokter, yang segera datang. Dokter itu memeriksa ku, dan menyuruhku istirahat selama 3 hari dulu, jangan keluar rumah. Dan memberiku obat, tentu saja.
Setelah dokternya pergi, ibuku menyuruhku minum obat. Setelah itu aku istirahat dikamar. Tapi aku tidak sepenuhnya istirahat, karena aku hanya melongokkan kepala keluar jendela, untuk melihat suasana desa.
Oh ya, aku belum sepenuhnya menceritakan apa saja yang kulakukan di desa selama 2 minggu. Yah, kebanyakan sih keliling desa dengannya. Tapi ia orang yang asyik, dan aku senang melewatkan waktu bersamanya. Ia tak pernah bilang, “Aduh, bodoh sekali sih kamu!” atau mengumpat dengan kata-kata kasar lainnya. Ia juga sopan sekali (walaupun tidak padaku). Tapi, aku bisa melihatnya dengan orang-orang dewasa.
TOK TOK TOK
“Masuk!” seruku. Ibuku masuk ke dalam kamarku, sambil membawa air teh hangat.
“Clare, Rick menunggu di depan tuh.” kata Ibuku sambil meminumkanku teh hangat. Tapi, aku sedang tak ingin bertemu Rick. Kalau Janet, mungkin iya. Aku masih harus mengorek informasi lagi darinya.
“Ti-tidak sekarang Bu. Aku mau istirahat.” tolakku. Ibu mengangguk, dan kembali keluar kamar.
Tak berapa lama kemudian, telepon berdering. Aku mengangkatnya.
“Halo? Clare McFarrel disini.”
“Clare?” seru suara disana. Aku sangat mengenal suara itu.
“Rick?” tanyaku kaget.
“Clare, ada apa? Kenapa kau tak memanggilku saja di kelasku? Kata ayahmu aku harus menjagamu. Tapi justru Janet yang bilang, kau panas tinggi.”
Oh, aku sedang tak mau menjelaskan. Dan lagi, ia bilang ‘kata ayahmu’. Berarti, aku memang dianggap merepotkan, ya? Kalian benar, cinta pertama selalu menyesakkan.
“Sudahlah Rick, kalau aku merepotkan ya bilang saja! Kalau dipendam justru membuatku frustasi tahu!” aku membanting telepon. Jantungku terus berdegup kencang dari tadi. Aku tak tahu mengapa. Tapi, air mataku sudah merembes keluar.
TLOK TLOK TLOK
Tiga buah batu dilempar mengenai kaca jendela kamarku dilantai dua. Aku melihat kebawah. Tampak Rick sedang berdiri dibawah.
Tapi aku tak mau menatapnya sekarang. Aku menutup gorden jendelaku, dan kembali mencoba untuk istirahat. Untungnya aku bisa tidur, namun dengan perasaan gelisah.
“Clare? Kau sudah siuman, nak?” terdengar suara ibuku. Aku membuka mataku perlahan. Tampak cahaya remang, kemudian terang. Aku melihat wajah ibuku. Ia sangat gelisah.
“Oh, bu.” kataku. Hari tampak sudah terang – berarti aku tidur dari pagi hingga pagi esok hari. “A-aku sudah tak pusing lagi. Bolehkah aku--?”
“Tidak boleh.” Kata ibuku tegas. Ia menyelimutiku. “Sudah pagi, nak. Kau tidur dari kemarin, tak sadar-sadar. Tapi untungnya Rick menjagamu semalam—“
“Rick!?” teriakku. Hatiku kembali panas dan berdetak tak keruan lagi.
“Ya. Clare, tapi Rick bilang kau meninggalkannya di Summer Academy. Ibu berpikir ada yang salah denganmu. Ada apa Nak? Tak apa, kau bisa menceritakan pada Ibu.”
Akhirnya, semuanya terucap. Aku tak bisa menahan. Aku menceritakan tentang Rick, dan tentang rasa sukaku padanya. Dan terbukti, ibuku memang seorang pendengar yang baik. Ia mengelus rambutku.
“Ya, aku tahu Clare. Perasaan suka itu biasa, kok. Dan lagi, itu hanya rumor. Kau harus bertanya yang sejujurnya padanya.” nasihat ibuku. Aku mengangguk.
“Ta-tapi Bu, aku kan tak bisa bilang aku suka..” kataku. Ibuku mengangguk.
“Ya, kau tak perlu bilang. Kau hanya harus bertanya perlahan padanya tentang masa lalunya, jangan sampai menyinggung.” Ibuku berdiri. “Baiklah, istirahatlah dulu. Kemarin siang Janet datang. Mungkin dia akan datang lagi hari ini.” Lalu keluar kamar.
Aku kembali memandang jendela kamarku. Di luar, aku melihat sesuatu yang ganjil.
Di bawah jendelaku, aku melihat Rick sedang berjalan, dengan Sherleen. Ya, keduanya tampak serius. Dan—mereka berjalan sambil bergandengan! Lalu di tikungan, mereka bahkan berciuman! Di belakang mereka tampak seorang pria dewasa. Ia memerhatikan mereka. Tapi, hatiku panas lagi. Aku hendak kembali menutup gorden, ketika tiba-tiba Rick menatapku.
Ya, dia menatapku.
Aku mencoba untuk tidak membalas tatapannya, tapi nihil. Tatapannya mengartikan, “Tunggu. Aku akan kesana sesudah ini.”
Aku terenyak ke tempat tidurku, dan menghabiskan sarapan yang diberi ibuku.
“Clare?”
Tanya sebuah suara yang kukenal. Aku berdiri dari keasyikanku memandangi burung-burung, dan membuka pintu. Rick berdiri di sana dengan sebuket bunga.
“Ha-halo.” Katanya. Suaranya tetap mantap seperti biasa. Aku menutup pintu kamarku lagi.
“Clare, tunggu dulu! Kau tak bisa begini—aku bahkan tak tahu apa salahku! Setidaknya, jelaskanlah dulu!”
Aku menunduk memandang lantai. Mataku kembali basah, dan memutuskan untuk tidak membuka pintu kamar.
“Per-pergi saja kau.” kataku tercekat pada seorang cowok yang bisa membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama.
“a-aku tak mau melihat wajahmu lagi.”
Lalu hening. Aku membuka pintu kamarku lagi. Tampak sebuket bunga, dengan sepucuk surat di dalamnya. Aku membacanya.
Dear Clare,
Aku minta maaf atas kesalahanku – tapi aku benar-benar tidak tahu apa salahku, hingga kau tak mau bahkan membukakan pintu untukku. Tapi aku benar-benar tak tahan begini ; aku tak tahan tidak dipedulikan olehmu.
Oh, oke, itu kata-kata gombal. Maafkan aku. Tapi itu benar. Dan, aku akan menjelaskan semuanya, kalau itu yang kau mau.
Cewek tadi itu Sherleen, dan aku tak mau ada kesalahpahaman. Dia itu pacarku, tapi aku tak menyukainya dan dia tak menyukaiku juga. Kau tahu maksudku, Clare. Ya, kami dipaksa oleh ayahnya. Dan selama ini aku selalu berusaha menghindar dari ayahnya, kau tahu. Dan karena itu aku senang sekali saat mendapat kesempatan untuk menjadi pembimbingmu.
Sebelum bertemu, aku merasa kau itu seorang pesolek dan centil sekali, dan hampir saja membatalkan janjiku dengan ayahmu. Lalu, aku bertemu denganmu, dan pandanganku berubah total.
Kau tampak manis sekali. Lalu aku mengajarimu berkuda, dan kau bertindak tak mau mendengarkanku. Dan aku membiarkanmu, karena aku tahu aku akan bisa menyelamatkanmu. Itulah tugas ayahmu, dan aku tak mau menjadi seorang pengecut. Dan kau selalu tampak mantap, sementara aku tidak. Mungkin aku berhasil menutupi kegugupanku, tapi kalau kau tahu yang sebenarnya kau pasti akan terkejut ; aku sangat gugup sewaktu bertemu denganmu.
Kemudian kau mengajakku ke tempat rekreasi. Tadinya, aku mau mengajakmu dinner, namun, ya sudah lah tak apa. Dan, maafkan aku. Bukan maksudku menarik-narikmu kesana-kemari. Tapi, aku benar-benar kehabisan ide mau mengajakmu kemana, tempat manakah yang menurutmu menyenangkan, dan memberimu kenangan indah saat denganku. Aku memikirkan itu terus, kau tahu. Dan ya, aku sangat kaget saat kau memanjat pohon dan bilang, kau tak mau ditarik-tarik kesana kemari. Berarti, ya, berarti aku telah membuatmu marah. Aku berusaha menutupi kesalahanku dengan membawamu dinner.
Dan, kau tahu, kau sangat oke dengan baju renangmu, dan sangat cantik dengan baju pestamu.
Oh, sedikit tambahan. Dan—ya, Kelly memang sudah meninggal. Tapi kau harus tahu kalau aku tak punya perasaan apa-apa pada Sherleen.
Oke, see you.
Maafku yang sebesar-besarnya,
Rick Muller
Aku terenyak ke tembok setelah membacanya. Sungguh, aku sangat kaget dibuatnya. Ya, dia memang selalu mendatangkan kejutan. Tapi tetap saja hatiku panas dan tak mau melihatnya lagi.
Next : the last chapter : kenangan terindahku
haihai :D:D ini vhann yg di nnc :)
BalasHapusceritanya bagus!! *heboh sendiri*
monggo dilanjutin gih :)
oo iya blognya sudah kufollow, follback ya sha... ^^