In my story

Love In The Village

Chapter 1
Goes to Village

< name="Generator" content="Microsoft Word 11">

“Apaaaaa!!??”

Aku menjerit. Ibu ku membelalakkan matanya. Ayahku mengangguk mantap.

“Maaf, tapi ayah tak mau mengambil risiko meninggalkan rumah dengan semua harta kita barang satu bulan saja. Ayah akan mengirim kalian semua ke desa – tak peduli apapun komentar kalian. Rumah ini akan ayah sewakan, dan dengan begitu kalian aman. Tak ada yang bisa menculik atau merampok kalian. Bukankah itu bagus?”

“Tidak sama sekali!!!” jerit ku masih dengan nada terkejut. “Ber-berarti aku harus meninggalkan mall, spa, saloon, restauran, dan mobil mewah untuk sapi-sapi yang bau dan menjijikan !?”

Aku menghambur ke pelukan ibuku dan mengisak. Ibuku mengadap ayahku.

“Theo, aku tahu kau sangat menyayangi kami. Tapi kalau memindahkan kami ke desa, bukankah itu terlalu—“

“Maaf Anne, keputusanku sudah bulat.” Sela ayahku. Aku terisak lebih keras. Aku gak mau pindah ke peradaban desa dengan orang-orang konyol dan kuno—pokoknya gak mau!!!!!

“Ayaaaah—“ aku mencoba mengubah pikiran ayahku.

“Tidak, Nak. Kau harus pindah ke desa dengan ibumu. Lagi pula, udara desa lebih sehat dari di kota. Di sana sejuk dan tidak panas seperti di sini.”

“Tapi ini kan musim panas, yah!” aku tetap berusaha mengambil hati ayahku, “Tolonglah—dimana-mana juga panas kok! Aku yakin, di desa pun aku takkan sebahagia disini!”

Ayahku menggeleng. “Sudah, ayah tak mau mendengar rengekan lagi. Simpan tangismu itu, Clare.” lalu ia beranjak masuk kamarnya.

Ibuku menatapku kasihan sambil mengelus rambutku, “Clare sayang, ibu tahu pasti berat bagimu untuk pindah ke desa, tapi ibu agak setuju dengan ayahmu. Mungkin di akhir pekan kita bisa selalu ke kota, untuk menemui teman-temanmu disini? Ibu tak keberatan kok.”

Aku tak menyangka. Ibuku yang lemah lembut dan baik itu bahkan setuju dengan rencana jahat ayahku! “Ibu jahat!” teriakku pada Ibuku. “Ibu sekongkol dengan ayah!!” segera aku berlari masuk kamar. Saat itu, aku sanga tak memedulikan perasaan ibuku.

Ohya, ngomong-ngomong soal perasaan Ibu – sekarang setelah aku mengingat-ingat Ibuku, aku tahu tindakanku itu salah. Kita tak boleh berbuat begitu pada ibu kita, kan? Apalagi mengingat, ia bahkan tak pernah menuntut balas akan jasa nya melahirkan ku di rumah sakit mewah. Ia tak pernah minta uang padaku, untuk mengganti segala uang yang telah dikeluarkannya selama aku hidup. Ia selalu menyayangiku, dan siap merelakan apapun demi diriku. Ia tak pernah berhenti mengucapkan namaku dalam doanya, dan selalu berdoa untuk keselamatanku –

Oh sial, air mataku mulai keluar.

Tapi sekarang aku betul-betul kesal pada semuanya, bahkan pada diriku sendiri.

Sekali ayahku sudah memutuskan sesuatu, takkan ada yang bisa mengubahnya. Kami, aku dan ibuku, akan pindah ke desa besok. Aku harus segera mengepak barang-barangku, atau aku akan meninggalkan semua barangku disini.

Jadi, aku harus mulai mengepak.

“Oke, sudah siap semua?”

Ayahku duduk di kursi sebelah supir. Aku dan ibu duduk dibelakang. Barang-barang kami di bagasi. Aku menitikkan air mataku, melihat rumahku yang mewah untuk terakhir kalinya. Oh ya, teman-temanku belum tahu aku pergi ke desa untuk menetap selama 1 bulan. Yang mereka tahu, di liburan musim panas ini aku akan pergi ke Jepang.

Mobil mulai melaju meninggalkan kota besar New York menuju desa Haggard. Disana kami akan menetap. Di sana nanti aku akan liburan dengan berjalan-jalan di sekitar desa – kata ayahku, ada anak kenalan ayahnya di desa, yang akan menuntunku di desa nanti. Dan aku akan menghabiskan liburan dengannya. Kata ayah, ia semacam pembimbing ku.

Tapi aku tahu, semua anak desa itu sama. Dengan hidung berbintik-bintik dan kulit kecoklatan. Dan wajah penuh jerawat yang besar-besar. Dan kesenangan mereka untuk memandikan sapi, dan merawat ayam-ayam. Rambut mereka pasti berantakan, dan tak pernah disisir. Apalagi pakaian mereka, dengan celana rombang-rombeng di sana sini. Ya, aku tahu pasti mereka semua sama ‘menjijikannya’.

Oke, kita sampai di depan rumah baru ku.

Rumahnya tidak begitu besar, namun (syukurlah) masih ada jaringan telepon dan TV parabola. Hancur hidupku jika tak ada dua barang itu!

“Halo Rick! Kau diutus oleh ayahmu bukan? Terimakasih untuk ketersediannya menuntun putriku selama ia menetap disini. Jaga dia, dan maafkan atas semua omongan kasarnya, ya.”

“Selamat pagi, Sir. Saya hanya akan membawanya keliling di desa ini saja kok Sir.”

Ayahku naik kembali ke mobil, setelah memastikan semua koper sudah diturunkan. “Terimakasih banyak, Rick. Clare—“ ayahku menatapku yang masih mendekam di mobil. “Ayo turun, dan berkenalanlah dengan sobat barumu, Rick. Ia pemandumu selama liburan musim panasmu ini. Ayah yakin kau akan senang dengannya – ayo turun!”

Oh, aku paling kesal dengan anak-anak desa. Tapi di bawah tatapan ayahku, akhirnya aku turun juga. Dan aku terkejut dengan apa yang kulihat.

Related Articles

0 komentar:

Posting Komentar

Any question or comment?

Search This Blog!

Diberdayakan oleh Blogger.